🎨 Pertanyaan Tentang Shalat Jama Dan Qashar
TanyaJawab Shalat Jamak Qashar. January 3, 2022. 31. 1488. Seperti dikutip dari buku berjudul, "99 Tanya Jawab Seputar Shalat" karya Ustaz Abdul Somad, jarak perjalanan bagi musafir yang dibolehkan mengqashar shalat ialah kurang lebih 89 km jauhnya satu jalan saja (berangkat saja). Direktur Rumah Fikih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat, mengatakan
Caramengerjakan shalat jama dengan qasar tidak berbeda dengan mengerjakan shalat jama saja selain dari jumlah rakaatnya, yaitu pada shalat qasar dikerjakan shalat empat rakaat menjadi dua rakaat. Sedangkan shalat yang 3 rakaat dan dua rakaat tidak boleh diqashar lagi.
2 Apa yang kamu ketahui tentang shalat qasar? 3. Shalat apa saja yang bisa dijama'? 4. Shalat apa saja yang bisa diqasar ! 5. Jelaskan syarat-syarat dibolehkannya shalat jama' dan qasar! 6. Tuliskan dalil yang memerintahkan melaksanakan shalat qasar beserta artinya! 7. Jelaskan perbedaan shalat jama' taqdim dan jama' ta'khir! 8. Tulislah niat shalat qasar! 9.
SHALATJAMA', QASHAR, DAN SHALAT JAMAAH. Penanya: H. Muhda Hadisaputro, SH., M.Si. Jl. Tebet Timur Dalam Jakarta . Pertanyaan: Akhir-akhir ini di kota besar seperti Jakarta, keadaan lalu lintas sehari-hari di hari kerja semakin padat merayap dan tidak jarang macet total semata-mata karena terlalu banyaknya kendaraan.
KetentuanJama' dan Qashar. Jama' shalat bisa dilakukan ketika safar ataupun muqim. Ketika safar, jama' sebaiknya tidak diamalkan sepanjang waktu safar melainkan di waktu-waktu tertentu yang dirasa sedang sulit jika shalat tidak dijama'. Meski di setiap waktu shalat dijama' pun hukumnya mubah, hanya lebih baik jama' diamalkan ketika
03. Menjelaskan islam merupakan agama yang tidak memperberat hambannya dalam beribadah. 0-3. Menjelaskan sholat merupakan kewajiban muslim, maka sholat tidak boleh ditinggalkan. 0-3. Kriteria jawaban nomor 3. Kriteria jawaban. Rentan Skor. Shalat Berdiri tetapi tidak bisa ruku atau sujud.
SHALATMUSAFIR DAN SHALAT JAMA'-QASHAR. Pertanyaan Dari: Abdul Wahab (496.845), anggota Majelis Tarjih PCM P. Berandan, Sumatera Utara, alamat e-mail: abdulwahab573@ pada hari Jum'at, 11 Ramadan 1434 H / 19 Juli 2013) Pertanyaan: Assalamu alaikum w. w.
Jawab jika menunggu imam ratib tidak memberatkan maka lebih utama bagi mereka shalat bersama imam ratib di masjid, karena shalat tersebut mengandung tambahan pahala dari sisi banyaknya makmum dan keutamaan menunggu shalat, karena seorang muslim berada di dalam shalat selama dia menunggu shalat, hal itu dijelaskan oleh Nabi saw. Namun jika menunggu imam ratib memberatkan maka mereka bisa shalat Zhuhur dan Ashar jamak dan qashar tanpa menunggu imam ratib.
TentangSantri; Profil Aswaja Center; Donasi; Tanya . PISS-KTB; Konsultasi Fiqih; Melalui SMS; Live SHOLAT QASHAR DAN JAMA' A.Pengertian-Sholat qoshor adalah meringkas shalat dari 4 (empat) raka'at menjadi 2 (dua) raka'at. - Sholat jama' adalah mengerjakan 2 (dua) sholat fardlu dalam satu waktu.
Diantara penyebab bolehnya men-jamak shalat adalah safar. Dengan demikian, orang yang safar, diperbolehkan untuk melaksanakan shalat dengan jamak-qashar. Di antara aturan jamak adalah: a. Hanya boleh untuk pasangan: Zuhur-Asar atau Maghrib-Isya. b. Khusus untuk orang yang hendak safar: - Jika berangkat safar sebelum shalat yang pertama, maka sebaiknya menjamak shalat di akhir waktu (jamak ta'khir). Misalnya: Jika berangkat sebelum Zuhur, maka shalat Zuhur dan Asar di-jamak di waktu Asar.
Qasharshalat ketika sudah melewati tapal batas kota; Tidak boleh bermakmum pada orang yang mukim (tidak qashar shalat) Apakah Setiap Shalat Jamak Boleh Diqashar? Dalam menjawab pertanyaan tersebut dapat kita telisik berdasarkan sebab-sebab yang memperbolehkan melaksanakan shalat dengan cara jamak dan qashar apakah sama atau berbeda.
5 Apa yang kamu ketahui tentang shalat qashar beserta artinya? Jawab 6. Tulislah dasar hukum pelaksanaan shalat qashar beserta artinya ! 7. Jelaskan syarat-syarat sah melaksanakan shalat qashar! 8. Apa yang dimaksud dengan shalat jamak qashar? Jawab 9. Jelaskan cara menjamak takdim qashar shalat maghrib dan isya! Jawab 10.
zZFnPvb. Pertanyaan Ketika aku sekola di tingkat SMP, aku sering melalaikan shalat. Aku tidak melakukan sebagian shalat. Lalu aku membaca fatwa di media anda bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas, tidak wajib qadha. Akan tetapi pada kesempatan lain, saya melakukan shalat dengan cara jamak qashar tanpa uzur. Apakah wajib bagi saya mengqadha shalat-shalat tersebut? Ataukah cukup dengan taubat saya? Teks Jawaban Meninggalkan shalat sama sekali merupakan kufur yang mengeluarkan seseorang dari agama, berdasarkan pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama. Sebagai tambahan silakan baca soal no. 5208. Adapun orang yang sekali waktu shalat dan di lain waktu tidak shalat, sebagian ulama berpendapat kufur juga. Inilah pendapat yang dikutip dari sejumlah shahabat. Ini pula yang difatwakan oleh Lajnah Daimah yang dipimpin oleh Syekh Abdulaziz bin Baz rahimahullah. Sebagai tambahan, silakan lihat jawaban soal no. 52923 83165 Kedua Para ulama berbeda pendapat terhadap orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja seperti orang yang bermalas-malasan dan semacamnya, apakah dia wajib mengqadha shalatnya, sebagaimana halnya orang yang tidur dan lupa wajib mengqadanya? Bahkan seharunya orang yang meninggalkan shalat tanpa uzur lebih utama untuk diminta qadhanya dibanding orang yang memiliki uzur, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan disepakati oleh mazhab yang empat dan selain mereka. Ataukah orang seperti itu tidak wajib, seandainya pun dia qadha, tidak ada gunanya, apakah karena orang yang meninggalkan shalat dianggap kufur dan orang kafir tidak ada manfaatnya dia melakukan shalat selama dia kafir, dan tidak diperintahkan baginya untuk mengqadha shalat yang dia tinggalkan selama dia kufur dan murtad. Atau karena shalat merupakan ibadah yang telah jelas batasan waktunya, yang apabila seseorang meninggalkannya dari waktunya tanpa uzur syar'I, maka tidak diterima shalatnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ رواه مسلم، رقم 1718 "Siapa yang beramal tidak bersumber dari ajaranku, maka dia tertolak." HR. Muslim, no. 1718 Sebagai tambahan, silakan lihat jawaban soal no. 105849 197247 Melakukan shalat qashar dalam keadaan mukim tanpa safar sama dengan meninggalkannya sama sekali. Seandainya seseorang melakukan shalat, kurang rakaatnya, atau sujudnya atau kurang salah satu rukunnya, dengan sengaja, maka shalatnya batal. Dia bagaikan orang yang meninggalkan sama sekali. Tindakan tersebut lebih dekat kepada tindakan mempermainkan syiar Allah. Ini sangat berbahaya, jika dia tidak mendapatkan rahmat Allah untuk mendapatkan taubat nasuha. Dari Ibnu Abbas dia berkata, فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً رواه مسلم، رقم 687. Allah telah mewajibkan shalat melalui lisan nabi kalian shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan menetap sebanyak 4 rakaat dan dalam safar sebanyak 2 rakaat, sedangkan dalam keadaan takut sebanyak satu rakaat." HR. Muslim, no. 787 Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Tidak ada perbedaan tentang jumlah rakaat, kecuali dalam shalat Zuhur, Ashar dan Isya, yaitu empat rakaat dalam keadaan menetap. Baik bagi orang yang sehat, sakit. Sedangkan bagi orang yang safar dua rakaat, dan dalam keadaan takut satu rakaat. Ini semua merupakan ijmak yang diyakini, hanya saja dalam hal shalat satu rakaat dalam keadaan takut, di sana terdapat perbedaan pendapat." Al-Muhalla, 3/185 Keempat Tidak dibolehkan menjamak di antara dua shalat tanpa uzur. Siapa yang menjamaknya tanpa uzur dan alasan syar'I, maka dia berdosa, karena bertentangan dengan ketentuan syariat yang menetapkan hal tersebut, di antaranya adalah firman Allah Ta'ala, إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا سورة النساء 103 "Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." QS. An-Nisa 103 Demikian pula halnya dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, أَمَّنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ وَصَلَّى بِيَ يَعْنِي الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِينَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ وَصَلَّى بِي الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ رواه أبو داود، رقم 393 والترمذي، رقم 149 وقال الألباني إسناده حسن صحيح في " صحيح أبي داود – الأم " برقم 417 "Jibril alaihissalam mengimami saya di Baitullah sebanyak dua kali. Dia mengimami saya shalat Zuhur ketika matahari tergelincir seukuran tali sandal. Kemudian dia mengimami saya shalat Ashar, ketika bayangan seukuran benda aslinya. Lalu dia mengimami saya shalat Maghrib ketika orang-orang yang berpuasa berbuka. Lalu dia shalat Isya, ketika mega merah terbenam. Lalu dia mengimami saya shalat Fajar, ketika orang yang berpuasa diharamkan makan dan minum. Kemudian keesokan harinya, dia mengimami saya shalat Zuhur, ketika bayangan seukuran benda aslinya. Lalu dia mengimami saya shalat Ashar, ketika bayangan seukuran dua kali lipat benda aslinya. Lalu dia mengimami saya shalat Maghrib, ketika orang-orang berpuasa. Lalu dia mengimami saya shalat Isya, hingga sepertiga malam. Lalu dia mengimami saya shalat Fajar ketika hari mulai terang. Lalu dia menoleh kepada saya dan berkata, 'Wahai Muhammad, inilah waktu para nabi sebelummu. Maka waktu shalat adalah di antara kedua waktu tersebut." HR. Abu Daud, no. 393, Tirmizi, no. 149. Al-Albany berkata, 'Sanadnya hasan shahih, terdapat dalam 'Shahih Abu Daud', no. 417 Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, "Kaum muslimin sepakat bahwa shalat lima waktu memiliki waktu tertentu. Dalam masalah ini terdapat hadits shahih yang banyak." Al-Mughni, 1/224 Jika telah disimpulkan demikian, maka tidak boleh menjamak dua shalat, kecuali jika didapatkan sebab untuk menjamak, seperti safar, hujan atau sakit. Jika tidak didapatkan sebab untuk menjamak shalat, maka harus dilakukan sesuai aslinya, yaitu shalat pada waktunya masing-masing. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2/60 Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menetapkan waktu shalat secara terperinci, maka melaksanakan shalat di luar waktunya merupakan tindakan melampaui batas atas ketentuan Allah Ta'ala, وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ سورة البقرة 229 "Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim." QS. Al-Baqarah 229 Siapa yang shalat sebelum waktunya, dia mengetahui dan sengaja, maka dia berdosa dan wajib mengulanginya lagi. Jika dia tidak tahu dan tidak sengaja, maka dia tidak berdosa namun wajib mengulanginya lagi. Hal ini terjadi apabila melakukan jamak takdim menggabungkan shalat dengan melakukannya pada waktu pertama tanpa sebab syari, maka shalat yang didahulukan tidak sah dan dia harus mengulanginya. Siapa yang menunda shalat hingga keluar waktunya dan dia tahu dan sengaja tanpa uzur, maka dia berdosa dan tidak diterima shalatnya, berdasarkan pendapat yang kuat. Ini terjadi bagi orang yang melakukan jamak ta'khir menggabungkan dua shalat pada waktu kedua tanpa sebab syari. Maka shalat yang diakhirkan tidak sah berdasarkan pendapat yang shahih. Setiap muslim hendaknya bertakwa kepada Allah dan tidak menganggap remeh perkara yagn sangat agung ini." Majmu Fatawa, 15/387 Yang diwajibkan bagi anda sekarang adalah, bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha dari perbuatan tersebut, dan berikutnya memperbaiki keadaan anda pada masa berikutnya dengan memperhatikan shalat dengan sungguh-sungguh, karena dia merupakan fardhu paling agung yang Allah wajibkan bagi hamba-Nya. Seandainya anda berhati-hati dan bersungguh-sungguh untuk mengqadha shalat-shalat yang tertinggal, khususnya shalat qashar, atau jamak saat menetap tanpa uzur syar'I maka itu lebih baik dan lebih menyelamatkan. Perbanyaklah melakukan amal-amal sunah semampu anda, khususnya shalat-shalat sunah. Allah Ta'ala berfirman, وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ * وَاصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ سورة هود 114-115 "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang pagi dan petang dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. Dan bersabarlah, karena Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." QS. Huud 114-115 Wallahua'lam.
Pertanyaan Sekiranya aku mengadakan perjalanan sejauh 100 mil atau lebih dari itu, berapakah jumlah raka'at shalat yang mesti aku tunaikan sebelum dan sesudah safar? Aku kira boleh aku mengqashar shalat sebelum dan sesudah safar, bukankah begitu? Teks Jawaban Alhamdulillah. Pertama, tiada batasan pasti dalam sunnah nabi, mengenai jarak safar yang membolehkan seseorang mengqashar shalat dan berbuka puasa. Para ulama banyak berbeda pendapat dalam masalah ini. Yang benar, jarak safar tersebut mengacu pada kebiasaan penduduk suatu daerah. Jika dalam pandangan masyarakat, dalam jarak tertentu, mereka sebut sebagai safar, maka ia boleh mengqashar shalat dan berbuka puasa. Dan ini pendapat yang diambil oleh para peneliti ilmiah. Seperti Ibnu Qudamah al Maqdisi dan Ibnu Taimiyah. Lihat soal jawab no 10993 dan 38079. Kedua, seorang musafir tidak mendapat rukhsah keringanan dalam safarnya seperti qashar shalat dan berbuka puasa kecuali setelah keluar dari rumahnya dan telah melewati tapal batas negerinya. Dan ia tetap berada dalam rukhsah tersebut sehingga ia kembali ke negerinya. Tidak boleh ia mengqashar shalatnya terkecuali setelah ia meninggalkan tempat tinggalnya atau batas kampungnya. Ia tidak boleh mengqashar shalat sedangkan ia masih berada di dalam rumahnya atau kampungnya. Sedangkan mengenai berbuka puasa, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama membolehkan ia berbuka walaupun ia masih berada di dalam rumahnya atau di kampungnya, apabila ia telah berazam yang kuat untuk mengadakan safar dan telah menyiapkan perbekalan safarnya. Adapun mayoritas ulama, tidak membolehkan berbuka bagi seseorang yang mau mengadakan safar sebelum ia keluar dari tempat tinggalnya atau kampungnya. Dan pendapat inilah yang lebih kuat dan lebih berhati-hati. Ibnu Taimiyah berkata, 'Apakah disyaratkan bagi musafir telah keluar dari kampungnya yang akan mengqashar shalat dan berbuka puasa? Jawabnya, ada dua pendapat ulama salaf terkait masalah ini. Sebagian ahli ilmu berpendapat boleh baginya berbuka puasa dan mengqashar shalat ketika ia sudah menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam perjalanan dan ia tinggal naik kendaraannya. Disebutkan bahwa Anas radhiallahu anhu pernah melakukan hal tersebut. Tapi jika anda memperhatikan ayat, "Dan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan, maka ia boleh berbuka dan mengganti puasa yang ia tinggalkan di hari lain sejumlah hari yang ia tinggalkan." Maka anda dapatkan bahwa pendapat ini tidak benar. Karena ia belum terhitung safar, tapi ia masih berstatus mukim di kampung tersebut. Untuk itu, ia tidak boleh berbuka puasa terkecuali jika ia telah meninggalkan perkampungannya. Adapun sebelum ia keluar dari rumahnya, maka ia belum layak disebut musafir. Dan yang benar adalah ia belum boleh berbuka sebelum ia meninggalkan kampungnya. Oleh karena itu ia tidak boleh pula mengqashar shalat sehingga ia keluar dari kampungnya, demikian pula dengan berbuka puasa.' Syarh almumti', 6/ 346. Bagi orang yang telah berazam untuk mengadakan safar, tidak boleh ia mengqashar shalat di rumahnya. Karena qashar masuk dalam hukum safar dan keringanannya. Sedangkan ketika seseorang masih berada di rumahnya belum terhitung safar. Inilah pendapat jumhur ulama. Dalam masalah ini banyak pendapat yang lemah, seperti pendapat yang membolehkan mengqashar shalat ketika masih berada di rumahnya. Atau pendapat yang mengatakan bahwa bagi musafir belum boleh mengqashar shalat bagi yang berangkat safar di siang hari sehingga telah memasuki waktu malam. Atau pendapat ketiga yang mengatakan bahwa ia boleh mengqashar shalat jika telah melewati tembok atau pagar rumahnya. Imam Nawawi berkata, 'Mazhab kami, jika telah meninggalkan tapal batas kampung, maka ia boleh mengqashar shalat. Dan sebelum itu, jika baru keluar dari rumahnya maka belum boleh mengqashar shalat. Dan inilah pendapat yang diambil Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad dan mayoritas ulama. Dikisahkan Ibnu Mundzir dari Harits bin Abu Rabi'ah bahwa ia pernah melakukan safar dan ia shalat dua raka'at di rumahnya, di sana ada al Aswad bin Yazid dan yang lainnya dari murid-murid Ibnu Mas'ud. Hal senada diceritakan oleh Atha' dan Sulaiman bin Musa. Mujahid berkata, 'Jika keluar dari rumahnya dengan tujuan safar di siang hari, maka ia tidak boleh mengqashar shalat sebelum masuk waktu malam. Dan jika keluar dari rumahnya di malam hari, belum boleh mengqashar shalatnya sehingga masuk waktu siang.' Dari Atha' ia berkata, 'Jika telah melewati tembok rumahnya, maka ia boleh mengqashar shalatnya.' Kedua mazhab ini tidak benar fasid. Mazhab Mujahid menyelisihi hadits-hadits yang shahih. Di mana Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengqashar shalat ketika telah sampai di Dzul Hulaifah, sewaktu keluar dari Madinah. Sedangkan mazhab Atha' dan lainnya, bertentangan dengan istilah safar.' Al Majmu', 4/ 228. Dibolehkan bagi orang yang melakukan safar untuk menjama' dua shalat sebelum pelaksanaan safar, jika ia merasa sulit untuk melaksanakan shalat kedua di tengah perjalanannya. Sedangkan qashar tidak boleh dilakukan di rumahnya. Syekh Utsaimin rahimahullah berkata, 'Tiada batas waktu tertentu bagi musafir maupun mukim selama anda berniat kembali ke kampung halaman, atau anda berniat mukim abadi. Maka pada saat itu tidak berlaku hukum safar bagi anda. Dan inilah pendapat yang shahih. Hukum safar dimulai sejak seseorang meninggalkan desanya dan telah melewati batas desanya atau kotanya. Tidak boleh menjama' dua shalat sehingga anda meninggalkan negeri anda. Terkecuali jika anda khawatir, anda sulit melaksanakan shalat kedua di tengah perjalanan.' majmu' fatawa Ibnu Utsaimin, 15/ 346. Berkata syekh Shalih Fauzan rahimahullah, 'Jika telah masuk waktu Zhuhur, sementara anda belum memulai safar, maka anda wajib melaksanakan shalat Zhuhur secara sempurna empat raka'at tanpa diringkas qashar. Sedangkan shalat Ashar, jika perjalanan anda berhenti di waktu Ashar, maka anda tunaikan shalat Ashar secara sempurna pada waktunya setelah anda sampai di tempat tujuan. Adapun jika perjalanan anda berlanjut hingga selepas maghrib. Artinya terlewat waktu Ashar sedangkan anda dalam safar. Dan anda tak mungkin turun dari mobil yang anda kendarai. Maka pada saat itu boleh anda menjama' dua shalat. Karena ini merupakan keadaan yang membolehkan anda menjama' dua shalat tersebut. Akan tetapi anda lakukan dengan sempurna, yakni empat raka'at empat raka'at. Jika anda telah shalat Ashar dengan Zhuhur di waktu Zhuhur jama' taqdim di rumah anda, dan anda ingin melakukan safar setelahnya, maka anda lakukan shalat Zhuhur dan Ashar secara sempurna. Masing-masing empat raka'at. Tidak mengapa anda menjama'nya. Karena jama' shalat dibolehkan pada saat itu. Adapun qashar, belum dimulai waktunya. Karena qashar itu dibenarkan setelah anda melewati tapal batas negeri, yang anda menetap di sana.' Al muntaqa min fatawa syekh Fauzan, 3/ 62. Ia melanjutkan, 'Hukum safar dimulai sejak seseorang keluar meninggalkan negeri yang dia menetap di sana. Jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya atau melewati tapal batas negerinya, maka sejak saat itu telah berlaku hukum safar. Seperti; mengqashar shalat dan berbuka puasa dan lain sebagainya. Adapun bagi orang yang masih tinggal di rumah, belum berlaku baginya hukum safar. Jika masuk waktu shalat sementara ia masih berada di daerahnya, maka ia shalat secara sempurna pada waktunya. Meskipun ia berpindah dari satu pemukiman ke pemukiman lainnya masih dalam satu desa, karena ia masih belum terhitung safar. Sehingga ia telah melewati semua pemukiman atau desanya.' Al muntaqa min fatawa syekh Fauzan, 3/ 62 -63.
pertanyaan tentang shalat jama dan qashar